SEARCH

Cari Dalam Blog Ini

SEJARAH AIR BAMA VERSI ASWAN BM

Senin, 22 September 2014


Di daerah Kobek pada zaman dahulu dimana masih berhutan lebat hiduplah sepasang suami istri bersama anak – anaknya Uto Wata Hadu Horet, Sigu Lugu, Tua, Labo bojo dan Tiwa.
            Kehidupan mereka bertani. Mereka sangat sulit mendapatkan air. Untuk memasak, minum, ataupun mandi mereka harus membasahkan kain dari embun di pagi hari. Mereka mempunyai binatang piaraan, yaitu seekor anjing. Pada suatu hari anjing piaraan ini kembali dari hutan, badannya basah dan penuh dengan lumpur.
            Mereka kemudian menganyam sebuah ketupat dan mengisinya dengan abu dapur yang diikat pada leher anjing tersebut. Keesokan harinya anjing itu muncul dan betul badannya basah dan penuh dengan lumpur. Tak sabar lagi saudara – saudara Uto Wata Hadu Horet dengan hati yang gembira dan penuh semangat mengikuti hamburan abu yang dibawa anjing itu, kemudian sampailah mereka pada sebuah jurang yang dalam dan disitulah terdapat sebuah kolam kecil yang penuh dengan air. Sejak saat itu orang tua Uto Wata Hadu Horet bersama saudaranya mulai mandi serta mencuci dan memasak dari air yang mereka temukan.
            Tak disangka – sangka pada suatu hari Uto Wata Hadu Horet pergi sendirian ke mata air itu. Sampai sore ia tidak juga pulang karena diambil oleh roh air untuk menjadi istrinya. Karena sudah malampun saudari mereka tak pulang, maka saudara – saudaranya pergi ke tempat mata air itu.  Sesampainya di tempat itu, terdengar suara yang berseru : ’ Jangan kamu gelisah terhadap saudarimu ini, ia telah kami terima sebagai istri dari tuan air ini. Kami berjanji akan memberikan kelimpahan air ini yang mengalir sampai ke laut.’ Saudaranya sangat sedih mendengar perkataan itu, namun mereka setuju. Mereka memohon agar hal ini disampaikan dahulu kepada orang tua mereka dan memohon agar saudarinya kembali bersama mereka ke rumah dan mereka akan mengantarnya kembali ke tempat ini.
            Persetujuan terjadi dan saudari mereka pulang bersama- sama dengan mereka. Setelah selesai makan malam perjanjian yang telah disepakati disampaikan kepada orang tua mereka. Dengan sedih hati merekapun setuju, karena memikirkan banyak orang. Keesokan harinya dengan berpakaian pengantin Uto Wata Hadu Horet diusung diatas balai- balai dan dihantar oleh saudara – saudaranya bersama kedua orang tuanya ke mata air sesuai perjanjian. Sesampainya di tempat itu, Uto Wata Hadu Horet diletakan ditengah – tengah kolam yang penuh dengan air itu. Kemudian si gadis Uto Wata Hadu Horet hilang pelan- pelan ke dalam air bersama balai- balainya, sementara air mulai melonjak ke atas dan meluap mengalir dengan deras. Orang tua dan saudara – saudaranya gembira karena dapat mengurbankan ananya demi orang banyak.    
Besi Pare Tonu Wujo
Dahulu kala, hiduplah tujuh orang bersaudara yaitu enam orang laki-laki yang bernama Lagitang, Latoreng, Lalue, Lalame, Labala, Laharu, dan saudari mereka Ema Nini. Kehidupan waktu itu sangat susah, terutama padi. Oleh karena iti, Ema Nini pergi ke pasar untuk menjuak majanan di antaranya ubi dan kacang hijau untuk mendapatkan beras. Pekerjaan Ema Nini setiap harinya adalah hanya menjual kedua bahan makanan tersebut.
Suatu ketika, Ema Nini ditegur oleh seorang penjual di pasar dan berkata “Ema Nini, apakah engkau malu menjual kedua bahan makanan tersebut?” Jawab Ema Nini, ”tidak, karena hanya ini saja yang aku punya.” Dengan sifat yang memfitnah, penjual itu berkata, “sebaiknya engkau pergi dari sini.” Saat itu Ema Nini diejek, ditendang dan diusir keluar dari tempat jualan tersebut. Ia pun merasa malu dan meninggalkan tempat tersebut dan pulang ke rumah.
Pancaran terik matahari semakin panas. Waktu pun terus bergerak dengan mantapnya. Ema Nini terus berjalan sambil menangis dan memikirikan peristiwa tersebut. Dalam perjalanan tiba-tiba matanya terpana kala melihat sesuatu. Ia pun mulai mendekat dan ternyata yang dilihatnya itu adalah tanaman padi. Aneh bin ajaib, dengan sendirinya padi itu melekat pada tubuhnya. Ia pun terheran-heran dan takjub saat mengalami kejadian itu.
Ema Nini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke rumahnya dan saat tiba di rumah, ia di sambut dengan gembira oleh keenam saudaranya. Tetapi kebahagiaan itu hanyalah sesaat. Pikiran Ema Nini semakin kacau “Apa yang harus ia buat?”
Hari mulai malam, bunyi jangkrik mengiringi sepinya malam. Tepat waktunya beristirahat, si sulung mengajak adik-adiknya beristirahat untuk melanjutkan kegiatan keesokan harinya. Saat tidur, Ema Nini bermimpi tentang seorang kakek tua berambut putih datang dan berbiacara dengannya. Kakek itu berkata “Ema Nini, jika kamu ingin keluargamu hidup bahagia, kamu harus mengorbankan dirimu!” Jawab Ema Nini “Dengan cara apa aku mengorbankan diriku?” Sambung kakek itu “Kamu harus menyuruh saudaramu unutk membuka kebun baru seluas mungkin. Selain itu, bawalah mereka ke tengah kebun itu dan memenggal kepalamu dan mencincang tubuhmu. Setelah itu menaburnya di kebun tersebut. Tetapi kamu harus mengingatkan mereka untuk datang melihat kebun tersebut. Di tengah kebun harus ditancapkan kayu dan harus di ikat sabut kelapa pada ujungnya. Tetapi jangan lupa letakan batu dan empat kayu mengelilingi tancapan kayu itu dengan bentuk segiempat”. Tiba-tiba Ema Nini kaget dan terbangundari tidurnya. Keringat pun mengucur deras dari wajah Ema Nini.
Keesokan harinya, Ema Nini pun mengumpulkan seluruh kakaknya dan menceritakan mimpinya semalam. Saat itu juga, pergilah keenam saudaranya untuk membuka kebun baru. Setelah selesai membuka kebun baru yang luas, berkatalah si sulung kepada adik-adiknya yang lain “Untuk apa kita membuka kebun baru ini, sedangkan kita tidak tahu harus menanaminya dengan apa?” Dengan suara halus dan tenang, Ema Nini menjawab “Jangan khawatir, yang harus kamu lakukan adalah memenggalkan kepalaku dan mencincang tubuhku. Lalu taburkan ketengah kebun ini.”
Pada saat tiba waktunya untuk menanam, Ema Nini mengajak keenam saudaranya ke kebun itu. Sesampainya di sana, Ema Nini berdidri di atas batu dan menyuruh salah satu dari keenam saudaranya itu memenggal kepalanya dan mencincang tubuhnya. Yang berani unutk melakukan hal itu adalah Laharu. Setelah memenggal dan mencincang tubuh Ema Nini, mereka menaburkannya di kebun itu. Dengan hati yang berat dan sedih yang tak tertahankan, mereka semua kembali ke rumah.
Sesuai dengan pesan Ema Nini bahwa dalam tujuh hari mereka harus datang dan melihat kebun itu. Maka hari yang di tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Mereka bersiap-siap pergi ke kebun. Dari jauh, mereka melihat kebun mereka dipenuhi dengan warna hijau tanaman yang tumbuh degan subur. Tanaman itu ternyata adalah padi yang dalam bahasa Lamaholot “Besi Pare Tonu Wujo”. Maka mulai saat itu, orang mengenal makanan pokok yaitu PADI.

0 komentar:

Posting Komentar

Social Profiles

TwitterFacebookGoogle PlusLinkedInEmail

Info

Lorem ipsum no has veniam elaboraret constituam, ne nibh posidonium vel.
Diberdayakan oleh Blogger.