Di daerah Kobek pada
zaman dahulu dimana masih berhutan lebat hiduplah sepasang suami istri bersama
anak – anaknya Uto Wata Hadu Horet, Sigu Lugu, Tua, Labo bojo dan Tiwa.
Kehidupan
mereka bertani. Mereka sangat sulit mendapatkan air. Untuk memasak, minum,
ataupun mandi mereka harus membasahkan kain dari embun di pagi hari. Mereka
mempunyai binatang piaraan, yaitu seekor anjing. Pada suatu hari anjing piaraan
ini kembali dari hutan, badannya basah dan penuh dengan lumpur.
Mereka
kemudian menganyam sebuah ketupat dan mengisinya dengan abu dapur yang diikat
pada leher anjing tersebut. Keesokan harinya anjing itu muncul dan betul
badannya basah dan penuh dengan lumpur. Tak sabar lagi saudara – saudara Uto
Wata Hadu Horet dengan hati yang gembira dan penuh semangat mengikuti hamburan
abu yang dibawa anjing itu, kemudian sampailah mereka pada sebuah jurang yang
dalam dan disitulah terdapat sebuah kolam kecil yang penuh dengan air. Sejak
saat itu orang tua Uto Wata Hadu Horet bersama saudaranya mulai mandi serta
mencuci dan memasak dari air yang mereka temukan.
Tak
disangka – sangka pada suatu hari Uto Wata Hadu Horet pergi sendirian ke mata
air itu. Sampai sore ia tidak juga pulang karena diambil oleh roh air untuk
menjadi istrinya. Karena sudah malampun saudari mereka tak pulang, maka saudara
– saudaranya pergi ke tempat mata air itu. Sesampainya di tempat
itu, terdengar suara yang berseru : ’ Jangan kamu gelisah terhadap saudarimu
ini, ia telah kami terima sebagai istri dari tuan air ini. Kami berjanji akan
memberikan kelimpahan air ini yang mengalir sampai ke laut.’ Saudaranya sangat
sedih mendengar perkataan itu, namun mereka setuju. Mereka memohon agar hal ini
disampaikan dahulu kepada orang tua mereka dan memohon agar saudarinya kembali
bersama mereka ke rumah dan mereka akan mengantarnya kembali ke tempat ini.
Persetujuan
terjadi dan saudari mereka pulang bersama- sama dengan mereka. Setelah selesai
makan malam perjanjian yang telah disepakati disampaikan kepada orang tua
mereka. Dengan sedih hati merekapun setuju, karena memikirkan banyak orang.
Keesokan harinya dengan berpakaian pengantin Uto Wata Hadu Horet diusung diatas
balai- balai dan dihantar oleh saudara – saudaranya bersama kedua orang tuanya
ke mata air sesuai perjanjian. Sesampainya di tempat itu, Uto Wata Hadu Horet diletakan
ditengah – tengah kolam yang penuh dengan air itu. Kemudian si gadis Uto Wata
Hadu Horet hilang pelan- pelan ke dalam air bersama balai- balainya, sementara
air mulai melonjak ke atas dan meluap mengalir dengan deras. Orang tua dan
saudara – saudaranya gembira karena dapat mengurbankan ananya demi orang
banyak.
Besi
Pare Tonu Wujo
Dahulu kala, hiduplah tujuh orang bersaudara
yaitu enam orang laki-laki yang bernama Lagitang, Latoreng, Lalue, Lalame,
Labala, Laharu, dan saudari mereka Ema Nini. Kehidupan waktu itu sangat susah,
terutama padi. Oleh karena iti, Ema Nini pergi ke pasar untuk menjuak majanan
di antaranya ubi dan kacang hijau untuk mendapatkan beras. Pekerjaan Ema Nini
setiap harinya adalah hanya menjual kedua bahan makanan tersebut.
Suatu ketika, Ema Nini ditegur oleh seorang
penjual di pasar dan berkata “Ema Nini, apakah engkau malu menjual kedua bahan
makanan tersebut?” Jawab Ema Nini, ”tidak, karena hanya ini saja yang aku
punya.” Dengan sifat yang memfitnah, penjual itu berkata, “sebaiknya engkau
pergi dari sini.” Saat itu Ema Nini diejek, ditendang dan diusir keluar dari
tempat jualan tersebut. Ia pun merasa malu dan meninggalkan tempat tersebut dan
pulang ke rumah.
Pancaran terik matahari semakin panas. Waktu
pun terus bergerak dengan mantapnya. Ema Nini terus berjalan sambil menangis
dan memikirikan peristiwa tersebut. Dalam perjalanan tiba-tiba matanya terpana
kala melihat sesuatu. Ia pun mulai mendekat dan ternyata yang dilihatnya itu
adalah tanaman padi. Aneh bin ajaib, dengan sendirinya padi itu melekat pada
tubuhnya. Ia pun terheran-heran dan takjub saat mengalami kejadian itu.
Ema Nini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke
rumahnya dan saat tiba di rumah, ia di sambut dengan gembira oleh keenam
saudaranya. Tetapi kebahagiaan itu hanyalah sesaat. Pikiran Ema Nini semakin
kacau “Apa yang harus ia buat?”
Hari mulai malam, bunyi jangkrik mengiringi
sepinya malam. Tepat waktunya beristirahat, si sulung mengajak adik-adiknya
beristirahat untuk melanjutkan kegiatan keesokan harinya. Saat tidur, Ema Nini
bermimpi tentang seorang kakek tua berambut putih datang dan berbiacara
dengannya. Kakek itu berkata “Ema Nini, jika kamu ingin keluargamu hidup
bahagia, kamu harus mengorbankan dirimu!” Jawab Ema Nini “Dengan cara apa aku
mengorbankan diriku?” Sambung kakek itu “Kamu harus menyuruh saudaramu unutk
membuka kebun baru seluas mungkin. Selain itu, bawalah mereka ke tengah kebun
itu dan memenggal kepalamu dan mencincang tubuhmu. Setelah itu menaburnya di
kebun tersebut. Tetapi kamu harus mengingatkan mereka untuk datang melihat
kebun tersebut. Di tengah kebun harus ditancapkan kayu dan harus di ikat sabut
kelapa pada ujungnya. Tetapi jangan lupa letakan batu dan empat kayu
mengelilingi tancapan kayu itu dengan bentuk segiempat”. Tiba-tiba Ema Nini
kaget dan terbangundari tidurnya. Keringat pun mengucur deras dari wajah Ema
Nini.
Keesokan harinya, Ema Nini pun mengumpulkan
seluruh kakaknya dan menceritakan mimpinya semalam. Saat itu juga, pergilah
keenam saudaranya untuk membuka kebun baru. Setelah selesai membuka kebun baru
yang luas, berkatalah si sulung kepada adik-adiknya yang lain “Untuk apa kita
membuka kebun baru ini, sedangkan kita tidak tahu harus menanaminya dengan
apa?” Dengan suara halus dan tenang, Ema Nini menjawab “Jangan khawatir, yang
harus kamu lakukan adalah memenggalkan kepalaku dan mencincang tubuhku. Lalu
taburkan ketengah kebun ini.”
Pada saat tiba waktunya untuk menanam, Ema Nini mengajak keenam
saudaranya ke kebun itu. Sesampainya di sana, Ema Nini berdidri di atas
batu dan menyuruh salah satu dari keenam saudaranya itu memenggal kepalanya dan
mencincang tubuhnya. Yang berani unutk melakukan hal itu adalah Laharu. Setelah
memenggal dan mencincang tubuh Ema Nini, mereka menaburkannya di kebun itu.
Dengan hati yang berat dan sedih yang tak tertahankan, mereka semua kembali ke
rumah.
Sesuai dengan pesan Ema Nini bahwa dalam tujuh
hari mereka harus datang dan melihat kebun itu. Maka hari yang di tunggu-tunggu
akhirnya datang juga. Mereka bersiap-siap pergi ke kebun. Dari jauh, mereka
melihat kebun mereka dipenuhi dengan warna hijau tanaman yang tumbuh degan
subur. Tanaman itu ternyata adalah padi yang dalam bahasa Lamaholot “Besi Pare
Tonu Wujo”. Maka mulai saat itu, orang mengenal makanan pokok yaitu PADI.
0 komentar:
Posting Komentar