Belakangan
ini di media online, termasuk facebook, blog pribadi dan komunitas, banyak bermunculan artikel
tentang Pulau Adonara, manusianya dan peradabannya. Artikel agak ilmiah tetapi
menurutku masih lemah, seperti ditulis Chris Boro Tokan (CBT), yang sejatinya
seorang pakar hukum. Dalam beberapa artikel, CBT menyimpulkan Benua Atlantis
Yang Hilang sebagaimana dikisahkan Plato, sesungguhnya adalah suku bangsa
Lamaholot; tentu termasuk Adonara. Kesimpulan CBT ini terutama bersandar pada
teori Prof. Arysio Nunes da Santos dalam bukunya “Atlantis, The Lost Continent
Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization” (2005)
dan teori Stephen Oppenheimer dalam bukunya “ Eden in the East” (1998), serta
pemahaman yang sangat mendalam mengenai Adonara dan budayanya. Termasuk,
dipengaruhi juga oleh iman Kristiani. Yang terakhir ini secara jelas diuraikan
CBT dalam artikel “Mencermati Makna Hakiki Kata Adonara” di www.nttonlinenews.com, 22 Mei 2011.
Tampaknya, ahli hukum jebolan UI ini seorang penganut aliran postmodern yang meyakni sebuah
kebenaran (pendapatnya) berdasarkan analisis sangat tajam dari tiga dimensi
yakni agama, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Arysio
Santos, geolog dan fisikiwanan nuklir asal Brasil menyimpulkan, Atlantis Yang
Hilang itu tak lain adalah Sundaland atau daerah yang sekarang dikenal dengan Kalimantan-Jawa-Sumatra.
Sebelumnya, ahli genetika dari Oxford Universuty, Inggris, Stephen Oppenheimer,
menjungkirbalikan fakta selama ini bahwa induk peradaban modern adalah dari
Mesir, Mesopotania dan Mediterania. Berdasarkan penelitian genetika, Oppenheimer
menyimpulkan nenek moyang bangsa-bangsa yang dikenal mempunyai perdaban sangat
maju tersebut adalah dari Timur, tepatnya dari Indonesia (Sundaland).
Berdasarkan kedua pendapat ini, CBT yakin letak Atlantis Yang Hilang tersebut
bukanlah di Sundaland melainkan daerah di sekitar Maluku – Nusa Tenggara Timur.
Lalu berdasarkan analisis yang mendalam tentang budaya suku bangsa Lamaholot,
khususnya masyarakat Adonara, CBT menyimpulkan masyarakat penghuni Pulau
Adonara adalah sisa-sisa bangsa Atlantis yang hilang tersebut. Dari semua
artikelnya, CBT ingin menegaskan bahwa peradaban bangsa-bangsa di dunia ini,
cikal bakalnya adalah dari peradaban suku bangsa Lamaholot. Peradaban bangsa
Yahudi, demikian CBT, bukan tidak mungkin cikal bakalnya dari peradaban Adonara.
Apalagi menurut CBT, kata “Adonara” = kata “Adonai” (salah satu gelar Allah
bagi bangsa Yahudi); dan beberapa persamaan ritual yang dipraktekan di Adonara
dengan di Yahudi.
Pendapat
CBT ini tampaknya diamini Padre Yoseph Muda (YM), SVD, seperti dikutip CBT
dalam lain artikel, “Lewotanah: Surga Positivisme-Surga Empiris Bangsa
Lamaholot di Nusa Tenggara Timur”, dalam www.nttonliennews.com,
21 Pebruari 2011. Dalam bukunya “Rera Wulan Tana Ekan”, sebuah penelitian
tentang asal usul budaya Ata Lamaholot, YM menelusuri jejak-jejak koda nuba
nara, rera wulan sebagai penunjuk arah. Sebagai contoh, memberikan
nama “Ra” terhadap matahari ditemukan di beberapa suku bangsa asli. Di Mesir
“Ra” atau “Re”, di pulau Paskah “Raa”, di dunia Lamaholot “Rera” atau
“Lera”….”Buku Para Raja” yang mengisahkan kehidupan raja Singasari Ken Arok:
“Pararaton”, Istana di Yogyakarta “Kraton”, agama asli di Timor, Atoni (Dewa
Aton Mesir?)…Jika “Yang Tertinggi” itu disapa dengan “Rera”, nama itupun
seharusnya merembes dalam nama-nama suku, nama-nama tempat dan dalam
ungkapan-ungkapan lain yang bersifat religius. Dengan demikian dapat ditelusuri
nama-nama seperti: Nusantara, Manggarai, Maumere, Larantuka, Lamakera, Adonara,
Lamalera, Leworere, Seran dan Goran,etc (hal. 1). Benarkah demikian? Kok
semudah itu ya, sekadar diplesetkan sekenanya, dan klop
sudalah.
Adonara
– Adonai – Adonay dan Drs. Adonara, M.Si
Apa
Hubungannya?
Jujur
saja, saya belum melihat-apalagi membaca-buku YM ini. Tetapi kesan saya, YM
seperti halnya CBT hanya menghubung-hubungkan saja nama-nama tempat atau
sebutan benda-benda di Adonara atau Lamaholot yang secara kebetulan sama atau
mirip-mirip dengan nama-nama di luar Lamaholot.
Benarkah
kata “Adonara” di Pulau Adonara ini = Adonai = Adonay di Yahudi sana? Simon
Hayon (SH), saat menjabat bupati Flotim pernah mengklaim asal usulnya dari
Yahudi. Karena menurutnya, kata “Hayon” berasal dari kata Yahudi “Al-Hayon”
yang berarti “Yang Hidup” di tengah-tengah kita. Saya khawatir, CBT, YM dan SH
adalah “murid-murid” satu “Padepokan”. Kalau analisis CBT dan YM tentang
Lamaholot atau Adonara dikaitkan dengan iman Kristiani yang bersumber dari
budaya Yahudi, bisa saya maklumi. Tetapi budaya Lamaholot (Adonara) yang
kebetulan sama atau mirip dengan budaya Yahudi, tidaklah elok disimpulkan bahwa
peradaban suku bangsa Lamaholot khususnya yang mendiami Pulau Adonara adalah
‘nenek moyang’ dari induk peradaban Yahudi bahkan di dunia ini. Tunggu dululah.
Harus dibuktikan secara ilmiah. Tidak boleh dengan menghubung-hubungkan begitu
saja tetapi diperkuat dengan fakta ilmiah lain yang lebih bisa
dipertanggungjawabkan. Kadang saya bergumam, “Beruntunglah saya, sebagai
penganut muslim, tetapi pengetahuan keislaman saya sangat dangkal. Pun, tidak
memahami filsafat dan budaya Arab. Kalau tidak, bisa saja saya begitu enteng
mengatakan bahwa peradaban bangsa Arab cikal bakalnya dari Adonara”.
Di
Eropa, ada sebuah negara kecil bernama Andora, sebuah nama yang mirip kata
Adonara. Kalau mau diutak-atik, nama ini juga mirip Adonara. Akan lebih baik
lagi jika CBT atau YM bisa menganalisis Andora sehingga menambah wawasan kita
semua. Pun, apa pula hubungan nama desa Kenada di daratan Flotim dengan Kanada
di Amerika Utara? Atau jika itu terlalu jauh, barangkali ada orang dari suku
Bali Mula di Desa Mangaaleng bisa menjelaskan apa hubungan Bali Mula dengan
penduduk asli Pulau Bali yang disebut Bali Mula (baca: mule, yang berarti
awal). Padahal setahu saya, suku Pepageka (di Pepageka), Bali Mula (di Mangaaleng)
dan Mao Meka (di Adobala) adalah rombongan manusia dalam satu perahu saat
berangkat dari Seram, Ambon, ratusan tahun lalu, sempat berlabuh sebentar di
Harageka, Solor, kemudian meneruskan perjalanan ke Adonara dan menetap hingga
sekarang ini. Lalu, dari mana pula asal usul seorang manusia bernama Drs.
Adonara, M. Si., yang menjadi salah seorang anggota pantia persiapan kabupaten
Buton Utara (waktu itu)?
Dua
tahun lalu, seorang berasal dari Hinga yang hijrah tinggal di kampung saya,
Pepageka, mengisahkan panjang lebar tentang sejarah lewo tanah bernama Nara Sao
Sina di dekat Waiwerang sana. Dia menyebut, desa tersebut mempunyai rumah adat, koke bale, nuba nara, nobo,
yang digambarkannya sebagai penjelmaan dari unsur-unsur dalam Pancasila serta
simbol-simbol lain NKRI. Saya memang belum ke Nara Sao Sina sehingga hanya
manggut-manggut saja. Semula, saya berpikir ceritra ini hanyalah ocehan orang
mabuk sehingga tidak perlu ditanggapi. Tetapi dua hari ini saya mulai terusik
manakala membaca dua posting “Komunal Adonara” (KA) di group “Adonara Fund”,
yang ditulis hampir bersamaan.
KA
menulis, ”Ada jejak yang setidaknya mampu menggambarkan evolusi perkembangan
peradaban masyarakat Adonara”. Intinya sebagai berikut: 1. Simbol menula (tempat memanggil hujan),
2. Simbol rie hikun limana wanan
(tempat mengucapkan rasa syukur kepada nenek moyang), 3. Simbol nuba nara (tempat menyebah rera wulan tana ekan).
“Jejak/simbol ini menggambarkan masyarakat Adonara mulai mengenal ide-ide
absolut. Ide ketuhanan, pencipta dan juga mulai menetap di sebuah wilayah dan
membangun sistem sosial hingga saat ini atau yang dikenal dengan lewo. Dari penjelasan
simbol-simbol ini menggambarkan evolusi orientasi hidup masyarakat Adonara
mulai dari orientasinya terhadap alam, leluhur dan yang terakhir yaitu rera wulan tanah ekan,” demikian
penjelasan KA.
Beberapa
menit sebelumnya, KA menulis “kle lema” yang mengambil pendapat Boli Wuran
Martin (BWM). Meski kenal dengan BWM, sekalipun saya tidk pernah berdiskusi
dengannya atau membaca tulisannya secara utuh tentang hal ini sehingga tak
jelas apa yang dimaksudkan dengan “kle lema”. Tetapi KA menyimpulkan-meski agak
ragu-bahwa “kle lema” adalah Pancasila. Kle lema ike kewaat lewotana (Lima kekuatan sebagai dasar
berdirinya lewo/lewotana) versi BWM adalah 1. Nuba (Kemanusiaan), 2. Nara (Persatuan), 3. Koke (Keadilan), 4. Bale (Kerakyatan), 5. Rie hikhun liman wanan
(Ketuhanan). Buat saya, juga tidak tepat kalau hal ini disamakan dengan
Pancasila. Bayangkan saja, kalau Pancasila versi Piagam Jakarta yang disetujui
pendiri bangsa negeri kita, apa ini sama dengan ‘kle lema”?
Kedua
posting ini kemudian saya kaitkan dengan puluhan artikel CBT seperti saya
sebutkan di atas. Jika dicermati, suku bangsaku, Lamaholot, khususnya suku-suku
di Adonara, ternyata bukanlah manusia “kacangan”. Saya tersanjung, sekaligus
penasaran sehingga terus mencari dan mencari terus untuk membuktikan
kebenarnnya. Sayang sekali, ilmuku tak sampai ke sana. Meski begitu, dari
literatur yang saya baca, rasa-rasanya tidaklah demikian. Setidaknya untuk saat
ini. Tentu masih banyak pendapat lain tentang Adonara, asal muasal masyarakat
Adonara dan suku-suku di dalamnya, yang mampu menjelaskannya tapi belum sempat
saya ketahui.
Hanya
saja, setahu saya, pemikiran-pemikiran brilian dari CBT, YM, BWM belum
sekalipun disanggah oleh para pakar. Tetapi dengan keterbatasan pengetahuan
yang saya miliki, jelas saya tolak. Soal letak Benua Atlantis Yang Hilang yang
oleh Arysio Santos dikatakan adalah Sundaland (Kalimaantan, Jawa, dan Sumatera)
ternyata oleh CBT dikatakan di sekitar Maluku dan NTT. Bahkan di beberapa
artikelnya, saya menangkap-jika tidak keliru-adalah daerah yang dikenal
sekarang sebagai Tanah Lamaholot. Penolakan saya terhadap pendapat CBT ini
bukan berarti saya melecehak CBT. Semata-mata karena analisisnya menurut saya
terlalu lemah. Tidak ada bukti-bukti geologis, arkelogis, vulkanologis dan ilmu
lain yang meyakinkan kita bahwa Tanah Lamaholot atau khususnya Adonara serta
peradaban manusianya atau daerah sekitar Maluku-NTT adalah bagian dari benua
yang hilang tersebut. Saya lebih setuju dengan pendapat Prof. Budi Brahmantyo,
pakar geologi ITB yang secara ilmia mengupas hal ini untuk membantah buku
Arysio Santos tersebut (Pikiran Rakyat, 7 Oktober 2006). Saya juga tidak
sependapat dengan CBT dan YM yang mengutak-atik kata “Adonara” dan kata “Ata”
(manusia) untuk memperkuat kesimpulan mereka. Menurut CBT, kata Adonara
terbentuk dari suku kata Adon dan Nara (konsonan N menjadi poros untuk suku
kata Adon dan Nara). Suku kata “Adon”, “Adonay”-Ra=Dewa Matahari, maka
ADONARA mengandung makna Dewa Matahari untuk surgan positivis. Suku
kata “Nara”, “Na” bermakna “Anak”, ‘Ra” berarti “Matahari” = Putra
Matahari. Kata “Nara” sendiri dalam bahasa Jawa Kuno bermakna “Manusia”, dipadukan
dengan “Adon” berarti “Dewa”, maka Adonara bermakna Putra Matahari, (Putra
Tuhan) menjadi Manusia Dewa (Adam), Manusia Pertama penghuni surga empirik.
Dari kata Adam, mengalami perubahan bentuk
pengucapan sesuai proses waktu menjadi Ad, Ata, Atl, Tlan, Atlantis,
sedangkan bahasa Inggris menyebut “land” berarti tanah. Akar kata
“tanah”adalah “tlan”, dalam kata “Atlantik”. Dalam bukunya “Hombresy
Estrcllas”, Oscar Fonck Sieveking mengurai arti kata “Atlantik” itu berdasarkan
bahasa Polinesia: Atl: Air, Tlan: Tanah. Sedangkan Ti: Dilingkupi. Dengan
demikian Atlantik berarti tanah yang dilingkupi, dikelilingi oleh air (Idem
Padre Yoseph Muda).
Membaca
penjelasan begini, memang begitu adanya sebuah tanah, pastilah dikelilingi air.
Entah air sungai/danau, air laut atau es. Pulau Adonara, seperti halnya
pulau-pulau lain di Indonesia dikeliling laut. Kecuali, Pulau Samosir yang
dikelilingi air danau Toba. Mengenai Adonara, berkembang beberapa versi. Versi
pertama menyebut, terdiri kata Ado (dari kata Ado Pehang) dan Nara (kawan,
klan); sehingga Adonara adalah pulau milik Kelake Ado Pehang dan klannya.
Sementara kakaknya, Pati Golo sebagai pemilik Flores Timur daratan. Versi lain
menyebut Adonara terdiri dari kata Adok (hasut) dan Nara; yang artinya senang
menghasut kawan untuk berperang melawan orang lain. Dari perilaku dan watak
orang Adonara, saya lebih setuju dengan versi terakhir ini.
Lalu
apa hubungannya dengan Adam, manusia pertama penghuni bumi ini, sebagaimana
dikenal dalam semua kitab suci agama Samawi? Saya tak punya kapasitas untuk
menelah lebih lanjut. Yang ingin saya tegaskan, haruslah dicari benang merah
antara gelombang kedatangan orang Lamaholot (Adonara) sebagaimana digambarkan
CBT, dengan hipotesis Paul Arndt mengenai suku Munde dan Pangi di India Selatan
yang mempengaruhi suku Demon – Paji di Kepulauan Solor. Sebab, tidak ada bukti
ilmiah bahwa ada pengaruh yang sebaliknya. Pendapat Arndt lebih bisa diterima,
mengacu pada masa sejarah Indonesia yang dikenal mulai tahun 400 M, bersamaan
datangnya orang-orang Aria dari India yang membawa kebudayaan kontinen. Meski
Menurut Radahar Panca Dhana, (sastrawan dan ahli sosiologi Universitas
Indonesia), sebelumnya pelaut-pelaut Nusantara saat itu sudah menjelajah ke
India, Afrika, dsb termasuk membawa kebudayaan-kebudayaannya, sehingga
ditemukanlah kebudayaan-kebudayaan yang mirip Nusantara di India, Madagaskar
atau Afrika Selatan. “Sayangnya mereka tak punya tradisi mencatat,” kata
Radhar, seperti diktip Budi Brahmantyo dalam blog-nya. Keduanya tampil
sebagai pembicara bedah buku Arysio Santos. Saya tak yakin, pelaut-pelaut ini
adalah suku bangsa Lamaholot. Kalau Bugis, Makassar Ok-lah.
Mitos Atlantis yang Hilang
Seperti
apa gambaran negeri Atlantis itu? Budi Brahmantyo, dalam artikelnya di Harian
Pikiran Rakyat (PR), Bandung, 7 Oktober 2006 (saya download dari blog-nya), menggambar Atlantsi,
selengkapnya seperti berikut:
Mitos
Atlantis muncul ketika mahaguru Socrates berdialog dengan ketiga muridnya;
Timaeus, Critias dan Hermocrates. Critias menuturkan kepada Socartes di hadapan
Timaeus dan Hermocrates cerita tentang sebuah negeri dengan peradaban tinggi
yang kemudian ditenggelamkan oleh Dewa Zeus karena penduduknya yang dianggap
pendosa. Critias mengaku ceritanya adalah true story, sebagai pantun turun temurun dari kakek buyut
Critias sendiri yang juga bernama Critias.
Critias,
si kakek buyut, mengetahui tentang Atlantis dari seorang Yunani bernama Solon.
Solon sendiri dikuliahi tentang Atlantis oleh seorang pendeta Mesir, ketika ia
mengunjungi Kota Sais di delta Sungai Nil. Bayangkan cerita lisan turun temurun
yang mungkin banyak terjadi distorsi ketika Critias, si cicit, menceritakan
kembali kepada Socrates, sebelum ditulis oleh Plato (427 – 347 SM).
Di
luar dari distorsi yang mungkin terjadi, tulisan tentang dialog Socrates,
Timaeus dan Critias tentang Atlantis yang ditulis Plato adalah sumber tertulis
yang menjadi referensi utama. Dari dialog itulah tergambar suatu negeri yang
makmur, gemah ripah loh jinawi yang bernama Atlantis. Letak negeri berada di
depan selat yang diapit pilar-pilar Hercules (the Pillars of Heracles).
Negeri
itu lebih besar dari gabungan Libia dan Asia. Terdapat jalan ke pulau-pulau
lain di mana dari tempat ini akan ditemui sisi lain negeri yang dikelilingi
oleh lautan sejati. Laut ini yang berada pada Selat Heracles hanyalah
satu-satunya pelabuhan dengan gerbang sempit. Tetapi laut yang lain adalah
samudera luas di mana benua yang mengelilinginya adalah benua tanpa batas.
Di
Atlantis inilah terdapat kerajaan besar yang menguasai seluruh pulau dan daerah
sekitarnya, termasuk Libia, kolom-kolom Heracles, sampai sejauh Mesir, dan di
Eropa sampai sejauh Tyrrhenia. Lalu terjadilah gempa bumi dan banjir yang
melanda negeri itu. Dalam hanya satu hari satu malam, seluruh penghuninya
ditenggelamkan ke dalam bumi, dan Atlantis menghilang ditelan laut.
Jika
dicermati, kisah ini secara jelas menyebut bahwa Atlantis yang hilang itu
terletak di sekitar Laut Tengah (Mediterania). Selain nama-nama Libia, Mesir,
Eropa dan Tyrrhenia, disebut pula selat dengan pilar-pilar Hercules yang tidak
lain adalah Selat Gibraltar (atau dalam bahasa Arab, Selat Jabaltarik), selat
di Laut Tengah antara Eropa dan Afrika yang merupakan gerbang ke Samudera
Atlantik. Apakah betul Atlantis sebuah benua yang lebih besar dari gabungan
Libia dan Asia? Pendapat ini ditentang juga sebagai salah terjemah kata Yunani meson (lebih besar) dengan kata mezon (di antara).
24
Kriteria Lokasi Atlantis Yang Hilang
Keyakinan
saya bahwa suku bangsa Lamaholot bukanlah sisa-sia manusia Atlantis Yang Hilang
makin kuat setelah membaca artikel lain Budi Brahmantyo tentang 24 kriteri
sebagai syarat Atlantis Yang Hilang, hasil kesepakatan para peneliti Atlantis
dari 15 negara yang berkumpul di Pulau Milos, Yunani, dari 11-13 Juli 2005.
Dalam konferensi bertjuk “Hipotesis Atlantis – Mencari Benua yang Hilang”, para
spesialis dalam bidang arkeologi, geologi, volkanologi dan ilmu-ilmu lain ini
memperesentasikan pandangannya tentang keberadaan Atlantis, waktu
menghilangnya, penyebabnya, dan kebudayaannya. Berdasarkan kepada tulisan
Plato, peserta konferensi akhirnya setuju pada 24 kriteria yang secara
geografis harus memenuhi persyaratan keberadaan lokasi Atlantis. Yaitu: 1.
Metropolis Atlantis harus terletak di suatu tempat yang tanahnya pernah ada
atau sebagian masih ada. 2. Metropolis Atlantis harus mempunyai morfologi yang
jelas berupa selang-seling daratan dan perairan yang berbentuk cincin memusat.
3. Atlantis harus berada di luar Pilar-pilar Hercules. 4. Metropolis Atlantis
lebih besar dari Libya dan Anatolia, dan Timur Tengah dan Sinai (gabungan). 5.
Atlantis harus pernah dihuni oleh masyarakat maju/beradab/cerdas (literate
population) dengan ketrampilan dalam bidang metalurgi dan navigasi. 6.
Metropolis Atlantis harus secara rutin dapat dicapai melalui laut dari Athena.
7. Pada waktu itu, Atlantis harus berada dalam situasi perang dengan Athena. 8.
Metropolis Atlantis harus mengalami penderitaan dan kehancuran fisik parah yang
tidak terperikan (unprecedented proportions). 9. Metropolis Atlantis harus tenggelam
seluruhnya atau sebagian di bawah air. 10. Waktu kehancuran Metropolis Atlantis
adalah 9000 tahun Mesir, sebelum abad ke-6 SM. 11. Bagian dari Atlantis berada
sejauh 50 stadia (7,5 km) dari kota. 12. Atlantis padat penduduk yang cukup
untuk mendukung suatu pasukan besar (10.000 kereta perang, 1.200 kapal,
1.200.000 pasukan). 13. Ciri agama penduduk Atlantis adalah mengurbankan
banteng-banteng. 14. Kehancuran Atlantis dibarengi oleh adanya gempa bumi. 15.
Setelah kehancuran Atlantis, jalur pelayaran tertutup. 16. Gajah-gajah hidup di
Atlantis. 17. Tidak mungkin terjadi proses-proses selain proses-proses fisik
atau geologis yang menyebabkan kehancuran Atlantis. 18. Banyak mata air panas
dan dingin, dengan kandungan endapan mineral, terdapat di Atlantis. 19.
Atlantis terletak di dataran pantai berukuran 2000 X 3000 stadia, dikelilingi
oleh pegunungan yang langsung berbatasan dengan laut. 20. Atlantis menguasai
negara-negara lain pada zamannya. 21. Angin di Atlantis berhembus dari arah
utara (hanya terjadi di belahan bumi utara). 22. Batuan Atlantis terdiri dari
bermacam warna: hitam, putih, dan merah. 23. Banyak saluran-saluran irigasi
dibuat di Atlantis. 24. Setiap 5 dan 6 tahun sekali, penduduk Atlantis
berkurban banteng.
Dari
ke-24 kriteria di atas, jelas Atlantis yang hilang itu bukanlah Sundaland
(Indonesia). Tetapi ada dua kriteria terakhir yang mirip dengan kondisi di
Bali. Yakni, soal irigasi yang sudah sangat maju (Subak) dan kebiasaan umat
Hindu Bali mengurbankan banteng dalam kurun waktu tetentu untuk upacara
agamanya.
Mencari
Identitas tanpa Provokasi
Beberapa
tahun lalu, konon, di kecamatan Witihama secara diam-diam berkembang
“pemikiran” saudara-saudara kita dari empat suku: Lamahhoda, Lamanepa,
Rianghepat, dan Palihama yang tergabung dalam “Kelompok 4-1”. Dari informasi
yang saya terima, tujuan Kelompok Empat Satu ini adalah mewacanakan pemurnian
sejarah asal usul manusia Adonara, dengan setting utama –maaf jika
saya terlalu vulgar-Kelompok Empat Satu sebagai manusia pertama Adonara. Sejak
itu, saya ingin berdiskusi dengan mereka, sayangnya saya belum menemukan figur
yang tepat. Buat saya, kelompok apapun atau siapapun dia dan dari suku mana
saja sangat penting dan berhak mencari jati dirinya. Namun, akan sangat lebih
elegant jika diformulasikan dalam sebuah karya ilmiah yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah pula. Atau mungkin sudah waktunya gagasan
semacam itu dibicarakan dalam forum ilmiah seperti seminar sehingga mendapat
tanggapan balik dari para pakar. Belakangan, saya mendapat informasi, ada suku
lain mengklaim Gajah Mada adalah nenek moyangnya. Saya pernah membaca berita
bahwa di sebuah kampung di daratan Flores Timur ditemukan jejak raksasa yang
diyakini sebagai jejak Gajah Mada. Benar atau tidak, sampai sekarang tampaknya
belum ada kesimpulan dari pihak yang berkompoten. Seandainya benar-ini
seandainya loh-toh tidak pernah ditemukan jejak yang sama di Adonara.
Patimura dari Ambon juga mengalami ‘nasib’ yang sama. Pahlawan nasional itu
malah diklaim sebagai nenek moyang suku lainnya di Adonara. Ada kesan
provokatif memang!
Sebelum
membaca literatur-literatur tentang Benua Atlantis Yang Hilang, saya sudah
mendengar ceritra “Belebo Lebo”, “Buta Mete Walang Mara” yang dituturkan secara
temurun dari suku-suku di Adonara dengan versinya masing-masing. Padahal
menurut saya, kedua ceritra ini mirip kisah bencana gempa bumi disertai letusan
gunung api dan tsunami mahadahsyat yang menenggelamkan Benua Atlantis hanya
dalam hitungan satu hari. Cuma, tidak ada orang yang secara tegas menyatakan
bahwa “Belebo Lebo” dan“Buta Mete Walang Mere” itulah Atlantis yang hilang.
Peradaban
Suku Lamaholot memang tidak mengenal budaya tulis. Itulah maka tidak pernah
dikenal aksara Lamaholot serta peninggalan peradaban Suku Lamaholot yang
terekam dalam sastra-satra kuno, seperti halnya sastra Jawa Kuna di Jawa atau
sastra Lontar di Bali. Bangsa Lamaholot hanya mengenal tradisi puisi lisan
secara turun temurun. Uniknya, subsuku-subsuku di dalam Suku Lamaholot
mempunyai puisi lisan tersendiri dan bisa dipastikan lebih hebat dari subsuku
lainnya. Tidak berlebihan jika mitos mengenai asal usul manusia Lamaholot juga
berbeda dari setiap subsuku. Raja Larantuka dan keturunannya (klan) suku Demon
mengaku berasal dari Gunung (Ile) Mandiri, sebagaimana mitos Oa Wato Wele yang
menikah dengan Pati Golo. Mitos ini diangkat sebagai tesis oleh Yosep Japi Taum
dengan judul: “Wato Wele Lia Nurat. Dalam Tradisi Puisi Lisan Lamaholot”, yang
kemudian diterbitkan dalam buku dengan judul yang sama oleh Yayasan Ilmu-ilmu
Sosial.
Orang
Boleng, Lamawolo, Lewo Keleng dan semua desa di kecmatan Ile Boleng di Pulau
Adonara merasa sebagai ‘pemilik’ Gunung Boleng karena mereka mengaku nenek
moyangnya adalah seorang putri titisan Gunung Boleng yakni Sode Boleng yang
dinikahi Ado Pehang (kakak kandung Pati Golo) yang terdampar di Selat Wai
Tolang, daerah sekitar Tanah Boleng. Kelake Ado Pehang dan Kewae Sode Boleng
inilah yang menurunkan klan Paji (KD Lamanele: Asal Usul Manusia
Adonara, dalam www.nttonlinenews.com,
Selasa, 28 September 2010).
Menarik
dicermati, seorang teman dari Witihama yang sekarang menetap di Pasuruan, Jawa
Timur-memiliki seorang anak perempuan bernama Kewae Sode Bolen. Cuma, saya tak
tahu apakah anaknya laki-laki bernama Kelake Ado Pehang atau tidak. Padahal
kita tahu, Witihama dan desa-desa seperti disebutkan KD Lamanele adalah
bersebalahan mengapit Ile Boleng. Lalu bagaimana “nasib” Lamatokan Ile Lodo Hau
yang mengaku berasal dari gunung? Tetapi mungkin karena posisi Desa Nisakarang
(Dua) di lereng Ile Boleng, seorang teman dari desa ini malah mengklaim Ile
Boleng adalah milik mereka. Entah kelakar atau serius, teman saya ini tak mau
berceritra lebih banyak mengenai sejarah “kepemilikan” atas “pilar langit”
Adonara ini. Semoga klaim seperti ini tak membuat masyarakat Lamalota
tersinggung karena saya tahu lewo
alapen (alaten)
di Lamalota juga mengaku sebagai ‘pemilik’ Ile Boleng. Mungkin karena posisi
desa Lamalota paling tinggi mendekati puncak dibandingkan desa lain di lereng
Ile Boleng? Entalah.
Jadi,
menurut saya, ceritra KD Lamanele yang didengar langsung dari orangtuanya ini
tentu menjadi tak nyambung dengan kisah keturuan klan Paji di
Kecamatan Keluba Golit, Witihama dan Kecamatan Adonara. Lalu bagaimana dengan
asal muasal manusia di Adonara Timur, Adonara Tengah, Wotan Ulu Mado dan
Adonara Barat? Sejarah Desa Lamahala Jaya adalah contoh tata susunan sistim
pemerintahan tradisional sejak kedatangan nenek moyang mereka dan bertahan
hingga sekarang ini. Suku-suku di Lamahala mempunyai peran yang jelas. Bela Suku Telo sebagai pemimpin,
dimana Suku Selolong sebagai kepala pemerintahan, Atapukan (kepala adat), dan
Malakalu sebagai kepala perang. Di bawahnya ada kabinet (mentri) yang terdiri
dari Kepitan Pulo, dan
Pegawe Lema yang
mengurus masalah keagamaan. Selengkapnya lihat: Sejarah Polu – Nipat yang
ditulis oleh Abdurrahim Djafar di blog “Watan Lamahala”.
Suku
Pepageka di Desa Pepageka juga mempunyai pembagian tugas yang jelas dari lima
moyang mereka. Yang pertama bertugas sebagai pemimpin pemerintahan, yang kedua
sebagai kepala perang, yang ketiga memegang urusan dengan “rera wulan – tana ekan”, yang
keempat memegang urusan “tubak
mula – hudung hubak”, dan terakhir memegang urusan “uran – wai”.
Sayangnya,
saya belum menemukan literatur atau artikel yang mengupas asal usul manusia
Adonara di bekas kecamatan Adonara Barat. Kalau ada tetapi luput dari perhatian
saya, barangkali bisa dipublikasikan secara luas memalui jejaring sosial
sehingga memperkaya wawasan kita. Dengan begitu, akan diperoleh gambaran yang
lebih lengkap mengenai manusia Adonara. Dari sini barulah kita bisa mengungkap
seperti apa identitas kita sebagai manusia Adonara. Saya kira kita sepakat
bahwa semua artikel tentang Adonara bertujuan menemukan sejarah asal usul
manusia Adonara yang sebenarnya kemudian menempatkannya dalam sesuai tatanan
sosial masyarakat Adonara dan sedapat mungkin menghindari benturan dengan
tatanan sosial yang sudah ada.
Sebuah
Simpul yang tak Sempurna
Pada
bagian akhir tulisan ini, saya mencoba membuat simpul meski tak sempurna. Kita
semua sepakat bahwa Pulau Adonara dan manusia serta peradabannya memiliki
keunikan tersendiri. Beberapa peneliti Barat, terutama para misionaris sudah
membukukan hasil penelitiannya. Seperti Ernst Vatter (Ata Kiwang), Paul Arndt
(Demon dan Paji), dan lain-lain. Arndt menduga, nenek moyang suku bangsa
Lamaholot berasal dari India Selatan. Kata pastor ini, di daerah ini ada dua
suku yakni Munde dan Pangi yang saling bermusuhan. Persis dengan perilaku Demon
dan Paji di Kepulauan Solor. Lalu apakah, pendapat Arndt ini diterima sebagai
sebuah kebenaran? Adalah tugas kita-terutama para pakar- untuk membuktikannya.
Tentu, kajian tentang hal ini akan lebih sempurna bila menggabungkan pendapat
Arysio Santos dan Oppenheimer. Siapa tahu, kelak akan terkuak indentitas
manusia Adonara.
Tetapi
terlepas dari itu semua, untuk saat ini, buat saya yang terbaik adalah
mengumpulkan bukti-bukti ilmiah lalu diformulasikan berdasarkan metodologi
ilmiah supaya dikupas tuntas dalam forum terbuka atau semacam seminar ilmiah.
Apa yang sudah dipublikasikan oleh CBT, YM, BWM, Paul Arndt, Ernst Vatter,
bahkan posting-posting di jejaring sosial adalah sebuah langkah awal ke arah menemukan
jati diri manusia Adonara. Mitos atau legenda, atau ceritra turun temurun yang
tidak pernah dibukukan bahkan sudah dibukukan sekalipun, tetaplah sebuah
ceritra. Tak ubahanya sebuah ceritra rakyat, pasti ada di manapun manusia di
seluruh dunia ini. Kalau pada akhirnya kita terbentur data dan bukti ilmiah,
maka garis tangan kita mungkin sudah demikian sehingga tidak perlu dipaksakan.
Justru kalau dipaksakan, hanya akan menimbulkan perpecahan di antara sesama
anak Adonara. Akhirnya, kita mau mencari identitas tetapi jutsru mendapatkan
musuh.
Lebih
dari itu, kalau ada praktek budaya Adonara yang mirip dan ditemukan di belahan
dunia lain di negara yang lebih maju sekalipun, menurut saya hanyalah sebuah
kebetulan saja. Sehingga tidak otomatis diklaim sebagai ‘milik’ kita.
Logikanya, kalau kebudayaan itu adalah milik kita, maka seharusnya kita juga
lebih maju atau setidak-tidaknya setaraf dengan mereka. Ataukah generasi yang
melahirkan kita ini berada di tempat yang salah? Entalah! Pun kalau praktek
seperti itu mirip simbol-simbol negara kita, menurut saya juga berlebihan.
Daerah lain Indonesia juga banyak mempunyai tata cara budaya seperti kita. Yang
ingin saya katakan, semua suku di Adonara, baik yang mengaku asli Adonara
maupun suku yang datang belakangan, pastilah sebelumnya berasal dari suatau
wilayah yang sama, entah di mana. Yang jelas bukan berasal daerah bekas
Atlantis Yang Hilang atau sisa-sia manusia Atlantis. Kesamaan ini ditandai oleh
adanya nuba nara, rumah adat,
koke, bale yang hampir ditemukan di semua desa di Adonara; sesuatu
yang tidak pernah disebutkan Plato-si filsuf beken Yunani itu, atau 24 kriteria
yang dicetuskan para ilmuwan di Pulau Milos, Yunani, 11-13 Juli 2005. Yang
membedakan satu suku dengan lainnya di Adonara adalah peran masing-masing,
sejak era kedatangan suku tersebut dan bertahan hingga sekarang ini. Celakanya,
kini ada wacana untuk melabrak tatanan sosial yang sudah ada. Kelompok
antikemapanan ini menuding tatanan sosial adalah warisan kolonial sehingga
perlu dienyahkan di bumi Adonara. Padahal, jika dicermati, tatanan sosial
seperti ini sudah ada jauh sebelum bangsa Eropa (Portugis) tiba di Flores
Timur.
Melihat
tingkah polah kelompok antikemapanan adat ini, kelompok lain menuding sebagai
gerakan untuk mencari identitas yang pada ujung-ujungnya ingin mendapat
pengakuan masyarakat. Menurut saya, tatanan sosial adalah salah satu kearifan
lokal yang tidak perlu dipertentangkan. Jika ada kelompok berusaha mencari
identitasnya, maka hal yang sama juga akan bisa dilakukan kelompok lain.
Semakin banyak orang atau kelompok mencari jati dirinya, justru makin bagus.
Dengan begitu akan memperkaya khasanah watak dan karakter manusia Adonara. Asal
saja hal itu dilakukan dengan cara-cara etis. Kalaupun ada praktek tatanan
sosial oleh sekelompok orang diyakini tidak pas, atau ada perubahan peran di
masyarakat adat, maka dikembalikan kepada pelaku peran tersebut. Toh hukum adat Adonara sudah
jelas dan ekstra kejam. Salah menempatkan diri dalam urusan adat, maka
resikonya tujuh turunan bisa habis seketika. Tanpa bermaksud membuka luka lama
yang dialami keluarga saya di Desa Lamahala Jaya, konon tragedi hilangnya lima
orang pemuda Lamahala 10 tahun lalu, yang sampai sekarang tidak bisa diungkap
Polres Flores Timur, ada kaitannya dengan ‘kesalahan’ peran dalam struktur
masyarakat Lamahala seperti dijelaskan di atas.
Nah kembali ke soal mencari
identitas ini, setahu saya, sejak era reformasi, tepatnya pemilihan kepala
daerah dan pemilu legislatif, makin banyak orang Adonara atau Flores Timur
umumnya rajin mencari jati dirinya dengan mendatangi rumah-rumah adat yang
diyakini sebagai bagian dari ceremoni adat sesuai garis keturunannya. Dengan
cara sederhana ini, sebenarnya bisa menggambarkan kepada kita dari mana jati
diri seseorang dan bagaimana perannya dalam struktur sosial masyarakat
Adonara.*
Bali,
H-1 Bulan Suci Ramadhan, 18 Juli 2012
2 komentar:
S7
Mantap... brilliant pemikiran anda...
Posting Komentar